Minggu, 22 Januari 2012

kisah anak jalanan



dengarkan aku teman ..
Aku terbangun dari kotor dan dinginnya bawah jembatan ini. Begitu juga dari suara-suara kendaraan bermotor yang silih berganti. Tapi ini sudah biasa bagiku. Ketika kubuka mata ini, pikiran dan perutku seakan mengerti. Saatnya kucari sesuap nasi. Menelusuri rimba rayanya kota, tertatih pada rintih kaki dan berpeluh pada guritan derita.

Kakiku terus melangkah, sementara perutku pun terus mendendangkan lagu keroncongnya. Kutilik dibalik rumah mewah itu. Bahagia sekali, mereka sarapan pagi bersama dengan makanan telah tersaji diatas meja. Sementara aku?? Berapa kilometer lagi harus kutempuh?? “Aku tak seberuntung mereka”.

Di teriknya matahari yang seakan ingin membakar kulitku, aku harus mengais rejeki. Di jalanan, di perempatan, di warung-warung, tak peduli betapa teriknya siang ini. Dengan lagu kudendangkan juga dengan tangan menengadah. Pengemis, pengamen, mungkin itu kata yang lebih tepat. Anak jalanan, anak terlantar, apapun kata mereka aku tak peduli. Buat aku yang terpenting adalah bagaimana menyambung nyawaku.

Kutengok di balik gedung itu. Nyamannya mereka, tidak kepanasan, duduk disana, mendapatkan pendidikan, mendapatkan teman pula. Inginnya aku bersekolah. Tapi uang dari mana? Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu yang lainnya gratis. Kalaupun aku sekolah, bagaimana aku bisa mencari sesuap nasi? Sekali lagi aku harus berkata, “Aku tak seberuntung mereka”.

Lalu ketika senja tiba. Kutahu hari kan gelap. Gelap pula harapanku, ku tahu malam ini aku harus tidur di emperan toko, di kolong langit, bahkan di kolong jembatan. Tanpa peduli apa yang akan terjadi nanti. Hujankah? Hemmm… hujan? Dinginnya malam adalah selimutku. Kardus bekas adalah kasurku. Tak ada bantal dan guling untukku.

Guling dan bantalku telah mati. Diambil Tuhan, bahkan disaat aku ingin merasakan hangatnya pelukan ibu. Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan dan dingin yang menusuk kalbu. Sementara aku disini, anak-anak lain tidur menggunakan kasur, selimut tebal, bahkan hangatnya pelukan orang tua. Dan untuk kesekian kalinya, aku harus berkata “Aku tak seberuntung mereka” .